Malam berlanjut dan kami kedatangan tamu
Mata hampir terpejam namun telinga masih bisa mendengarkan suara di sekitar tenda. Seperti lagi berbenah disertai suara berbisik-bisik sayup terdengar.
Dengan memberanikan diri, saya membuka mata dan saat itu juga terlihat cahaya dari kejauhan berlalu-lalang, ternyata ada beberapa pendaki lain yang baru sampai sedang mendirikan tenda. Mereka sepertinya mengikuti langkah kami untuk tidak mendirikan tenda ditempat yang terbuka.
<< MALAM SEBELUMNYA | BAGIAN 1
Karena rasa kantuk dan lelah dalam perjalanan, matapun tidak mau diajak kompromi dan sayapun kembali tertidur pulas. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 WIB dan kamipun bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Sumbing. Jays lekas membuka pintu tenda dan tiba-tiba whusssssssssss…. tiupan angin dengan sangat kencang masuk kedalam tenda dan langsung membuat kami kedinginan.
Bram: “tutup Jays..!”
Renie: “nanti aja deh summitnya, dingin banget itu anginnya”
Bram: “iya bener, bisa beku ntar kita di jalan”
Kemudian kami berdiskusi panjang, hingga akhirnya kamipun bersepakat untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak saat itu. Namun, kami juga sepakat tidak tidur lagi sampai matahari terbit agar tidak kesiangan.
Sementara menunggu matahari terbit, kami menghabiskan waktu untuk bercerita tentang pengalaman-pengalaman kami selama mendaki beberapa gunung dan sesekali bercanda agar tidak kedingingan.
Sementara menunggu matahari terbit, kami menghabiskan waktu untuk bercerita tentang pengalaman-pengalaman kami selama mendaki beberapa gunung dan sesekali bercanda agar tidak kedingingan.
BACA JUGA : Hati-hati, Tempat ini Memiliki 7 hal Mistis Menurut Para Petualang
Tenda sebelah sudah tidak lagi bersuara, sepertinya mereka summit dengan cuaca yang yahut menurut saya. Lagi asik bercanda waktu sudah menunjukkan pukul 07:00. Kami bersiap untuk lanjut summit. Kami membawa air putih dan gula merah. Oh iya bagi teman-teman yang suka mendaki gunung mungkin membawa gula merah bukanlah hal yang aneh.
Gula merah kami konsumsi untuk pengganti makanan (glukosa) jadi bisa cepat diproses oleh tubuh sebagai penambah energi. Ada banyak cemilan yang bisa dijadikan penambah energi selain gula merah, contohnya cokelat choki-choki. Well lanjut ke perjalanan. Di beberapa jalur kami bertemu dengan pendaki lain dengan ciri khas pendaki yaitu PHP, “semangat mas tinggal 15 menit lagi”, walaupun kami tahu itu bohong namun bisa juga menjadi penyemangat di perjalanan (semangat karena dibohongin š )
Kami juga sempat bertemu dengan pendaki lain yang sedang duduk sendiri, dengan sopan sayapun menyapanya, “mbak kok sendiri?, temannya kemana?”, “oh iya mas yang lain lanjut muncak, saya kecapean jadi gak kuat buat lanjut”. Sekedar saran buat teman-teman yang suka mendaki sebaiknya jangan pernah meninggalkan teman kalian seperti itu dalam keadaan apapun apalagi dalam kondisi kurang fit.
Kaki mulai lelah dan terik semakin meninggi. Dengan sisa-sisa kekuatan kami tetap melanjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung Sumbing. Bendera merah putih tanda lokasi puncak sudah terlihat namun jalurnya cukup menguras tenaga terlebih lagi ada jalur berbatu besar yang memerlukan langkah besar untuk menapakinya.
Kurang lebih 10 meter menuju puncak saya dan Jay menghentikan langkah lalu menunggu Renie. Ayo mbak duluan (sambil kami memberi semangat dari belakang). Rasa lelah dan letih terbayar lunas dengan beberapa foto yang kami abadikan di puncak gunung Sumbing. Tidak perlu waktu lama untuk kami di puncak dan kamipun langsung turun menujut tempat kami mendirikan tenda.
Formasi yang kami gunakan sewaktu turun tetap sama Jays di depan Renie di tengah dan saya di belakang. Tiba-tiba “ahhhhhhhhā¦” mata saya langsung tertuju ke sumber suara yaitu Renie. Dan benar saja, saya saya tak bisa berkata-kata melihat Renie terpeleset ke arah jurang yang sangat dalam “mbak Renieā¦.!!!”, Jays yang berada di paling depan spontan melihat kearah belakang dengan mata terbelalak.
Kami saat itu sudah tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun melempar tali tetap tidak akan bisa menjangkau Renie saat yang itu jaraknya kurang lebih 15 meter di depan saya. Dengan sedikit tenaga yang tersisa Renie berusaha menghentikan dirinya yang semakin cepat menuju ke jurang, Alhamdulillah dia berinisiatif menggunakan bagian belakang badannya sebagai rem.
Fuihhhā¦ kurang lebih 4,5 meter jarak Renie ke bibir jurang. Dengan segera saya dan Jays menghampiri Renie yang saat itu terlihat pucat (mungkin syok). “haduhh.. sepatu gue nih bener-bener..”, Jays yang biasanya cuek saat itu tiba-tiba terlihat sangat berbeda “yaudah Bram lo jangan jauh-jauh dari Renie, pepet terus dari belakangnya, gue juga akan perpendek jarak ya!”.Formasipun berubah dan tali yang saya bawapun saya pindah ke posisi pinggang agar lebih mudah diambil.
Dalam perjalanan turun, saking lelahnya kami berhenti sejenak dan beristirahat beberapa waktu sambil tiduran di hamparan rumput ilalang (berasa di kasur š ). Di sana juga kami berpapasan dengan pendaki lain yang bahkan ada yang baru akan menuju kepuncak.
Tak lupa beberapa kali sambil menghela nafas, beberapa kali saya mengabadikan gambar di sekitar. Dan tanpa terasa tampak dari kejauhan warna tenda kami sudah terlihat. “Jays: gaes agak cepat packing ya, biar magrib kita udah di BC”. Sammbil merapikan peralatan kami disapa oleh beberapa rombongan pendaki yang saat itu berjalan turun. “rombongan 1: duluan ya mas..”, kemudian tak selang beberapa lama kembali kami disapa oleh rombongan 2 yang juga sedang mau turun.
Kurang lebih 40 menit setelah itu kamipun selesai packing. Formasi tetap sama dan jarang diperpendek ditambah saya dan Jays memegang HT. Renie yang saat itu datang bulan sangat saya perhatikan dari belakang, khawatir drop dan capek. Beberapa kali Jays memberikan arahan ke Renie “Ren bisa cepetan dikit gak!”, dari belakang saya bisikin Renie, “pelan-pelan aja mbak ada Bram dibelakang kalau lelah istirahat gak apa-apa”, perjalanan kami terasa sangat melelahkan.
Dan sempat beberapa kali saya berfikir, apakah benar ini jalan yang kami lalui saat mendaki kemarin?, isi pikiran saya saat itu tak saya ucapkan “ah sudahlah mungkin memang pengaruh capek”. Jays kembali mengingatkan Renie untuk mempercepat langkah, padahal saat itu Renie beberapa kali terjatuh karena sepatunya yang memang licin, ekspresi Jays saat itu terlihat kurang bersahabat karena hari sudah malam dan kami masih berada di jalan (belum sampai ke basecamp).
Sempat beberapa kali seperti ada yang menggoyang-goyang keril saya dari belakang, tak hent-hentinya dzikir saya terus lantunkan ditambah dengan surah-surah pendek saya baca di dalam hati. Mungkin karena memang kaki lelah namun tetap dipaksa berjalan, beberapa kali saya terjatuh karena salah memposisikan langkah akibat kurang fokus ditambah beban keril yang lumayan OK saat itu.
Beberapa kali Jays sempat terlihat bingung sebagi leader karena jalur bercabang. Saat itu saya tak berhenti mengajak Renie berbincang karena saya tidak ingin Renie capek dan melamun ditambah lagi pikirannya kosong. Cahaya senter saya saat itu tiba-tiba redup dan hilang akibat kehabisan baterai. Dan saya meminta mbak Renie sedikit memperpendek jarak cahaya senternya agar bisa menerangi jalur yang saya gunakan.
Pada saat itu kami tidak menemukan satupun pendaki yang naik maupun turun. Gelap dan dingin yang kami rasakan menambah rasa lelah. Kaki sudah tidak bisa diajak kompromi namun tidak ada pilihan lain saat itu untuk kami selain tetap berjalan walaupun perlahan. Karena berjalan perlahan lebih baik daripada berhenti.
Beberapa kali saya berpegangan dengan beberapa pohon untuk sekedar menahan beban keril walaupun acap kali pohon yang saya pegang terasa bukan seperti pohon biasanya. Rasa lelah dan letih menginstruksikan kepada otak saya untuk tidak memikirkan hal itu. Disertai dengan dzikir yang tak pernah berhenti saya lantunkan, perlahan tapi pasti dari jarak yang sangat jauh terlihat beberapa cahaya lampu rumah penduduk sekitar yang mulai terlihat.
Semakin kami berjalan semakin banyak suara yang kami dengar diantaranya suara beberapa kendaraan. Alhamdulillah.. gaes udah sampe kih dikit lagi. Kami semakin mempercepat langkah dan akhirnya sampai di basecamp (BC). “mbak Renie, bang Jays saya pesan nasgor ya..”. Para pendaki sudah ramai saat itu dan terlihat sedikit mengantri di depan kamar mandi untuk sekedar membersihkan diri.
Kami berinisiatif untuk mandi saat itu terlebih Renie yang saat itu sedang berhalangan. Selesai mandi dan ganti baju nasgor yang kami pesan datang. Sambil makan dan ngobrol kami memohon izin ke BC untuk menginap semalam untuk melanjutkan perjalanan pulang di waktu pagi. Ketika kami sedang menikmati teh hangat tiba-tiba datang suara yang tak asing didengar “permisi..”, mata kamipun langsung tertuju kearah sumber suara dan kamipun terbelalak dan refleks berkata “lah kalian kan 2 rombongan yang udah duluan tadi??!”.
BACA JUGA : Selain Desa Penari, Berikut Deretan Desa Yang Bikin Ngeri !
Jeng..jeng.. “Rombongan 1&2: lah iya kok bisa kalian yang duluan sampai??!”. Agar tidak ada yang berpikir yang aneh-aneh sayapun langsung memotong pembicaraan “oh.. tadi kami lewat jalur air, makanya lebih cepat sampai”. Padahal jalur air yang saya maksud itu tidak pernah ada.
Jays sempat beberapa kali terlihat ingin mengutarakan sesuatu tapi saya tahan dan kasih isyarat kalau jangan dibahas sekarang. Waktu istirahat semalam di BC sangat kami gunakan semaksimal mungkin untuk perjalanan keesokan harinya.