Sholat adalah kewajiban utama bagi setiap Muslim, yang tetap berlaku di mana pun mereka berada, termasuk di tengah alam bebas seperti gunung. Melakukan salat di pegunungan bukanlah fenomena baru. Sejak zaman Rasulullah SAW, para sahabat dan kaum Muslimin sudah terbiasa menjalankan ibadah dalam perjalanan, termasuk di medan berat seperti padang pasir, lembah, dan pegunungan.
Jejak Historis: Salat dalam Perjalanan dan Alam Terbuka
Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sering bepergian, baik dalam rangka dakwah, perdagangan, maupun jihad. Dalam perjalanan ini, mereka melaksanakan salat dalam kondisi yang beragam—terkadang sambil berjalan, berkendara, bahkan dalam kondisi darurat.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyebutkan bahwa salat bisa dilakukan dalam berbagai kondisi, asalkan tetap memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat yang bisa dilaksanakan. Gunung termasuk dalam kategori medan safar (perjalanan), sehingga banyak keringanan (rukhshah) yang bisa diaplikasikan, seperti:
- Jamak dan Qashar: Menggabung dan meringkas salat ketika melakukan perjalanan jauh (lebih dari ±80 km).
- Tayammum: Ketika tidak ditemukan air untuk wudu di daerah pegunungan.
- Salat Menghadap Kiblat Sebisanya: Jika sulit menentukan arah kiblat secara tepat, cukup berijtihad berdasarkan perkiraan terbaik atau alat bantu seperti kompas atau aplikasi digital.
Fikih Praktis: Tata Cara Salat di Gunung
Berikut adalah tata cara salat di gunung berdasarkan panduan fikih klasik dan modern:
- Menentukan Waktu Salat
Gunakan jam, matahari, atau aplikasi jadwal salat. Di gunung, waktu bisa terasa berbeda karena perbedaan ketinggian dan posisi matahari. - Menentukan Arah Kiblat
Gunakan kompas manual atau digital. Jika dalam keadaan darurat dan tidak mengetahui arah kiblat, cukup berijtihad—salat tetap sah. - Wudu atau Tayammum
Jika tersedia air, ambillah wudu meskipun dengan hemat. Jika tidak, cari debu bersih untuk tayammum. - Tempat Salat
Pilih permukaan yang stabil dan rata. Jika tidak ada, gunakan alas seperti jaket atau terpal agar tidak terkena najis dan tetap bersih. - Posisi Tubuh
Jika berdiri tidak memungkinkan karena kemiringan atau bahaya, salat boleh dilakukan dengan duduk atau isyarat, sesuai kemampuan. - Menghindari Gangguan Alam
Perhatikan potensi gangguan seperti angin kencang, hujan, atau binatang liar. Salat dapat disingkat (qashar) jika dalam keadaan darurat.
Nilai Spiritual: Salat di Tengah Keagungan Ciptaan Allah
Salat di gunung memberikan pengalaman spiritual yang sangat mendalam. Dikelilingi oleh keheningan, pemandangan luas, dan udara segar, seorang Muslim dapat merasakan kehadiran Allah secara lebih kuat. Dalam Al-Qur’an, Allah banyak bersumpah atas gunung-gunung (misal: waṭ-ṭūr, At-Tur:1), menandakan kebesaran dan keagungan-Nya yang tercermin dalam ciptaan.
Melaksanakan salat di gunung adalah bukti fleksibilitas Islam dalam menjalankan ibadah di berbagai kondisi. Ia bukan hanya kewajiban, tetapi juga menjadi kesempatan untuk memperdalam rasa takwa dan kekaguman terhadap penciptaan Allah. Dengan bekal ilmu fikih dan persiapan yang matang, salat di gunung bisa menjadi pengalaman spiritual yang membekas seumur hidup.
Kalau admin pribadi sebisa mungkin menghindari mendaki gunung sebelum waktu sholat Jum’at. Karena hukumnya Wajib ‘Ain bagi laki-laki. Hukum Salat Jum’at: Wajib ‘Ain bagi Laki-laki
Salat Jum’at hukumnya wajib ‘ain (individu) bagi setiap Muslim laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Hal ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits:
📖 Dalil dari Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(QS. Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa ada perintah langsung kepada orang-orang beriman untuk menghadiri salat Jum’at dan meninggalkan aktivitas dunia, seperti berdagang.
📜 Dalil dari Hadits:
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap Muslim secara berjamaah, kecuali empat: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit.”
(HR. Abu Dawud dan Hakim, hasan).Salam lestari 🙂