Travelista – Sejak pembahasan RUU Omnibus Law dimulai, telah mendapat tentangan dari banyak pihak.

Hal ini terlihat dari banyaknya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, beberapa ormas dan buruh pada saat awal pembahasan.

Namun terlepas dari berbagai kritik dan tuntutan masyarakat, DPR dan Pemerintah tetap gencar terutama untuk membahas dan memasukkan RUU Cipta Kerja ke dalam UU Cipta Kerja.

Situasi ini menunjukkan bahwa agenda setting yang diatur oleh UU Cipta Kerja mengalami kecacatan karena tidak didasarkan pada prinsip-prinsip negara demokrasi.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, keterbukaan informasi dan partisipasi publik pada agenda setting dalam pembuatan kebijakan sangat diperlukan.

Media harus memiliki agenda pemberitaannya sendiri,  dan secara mandiri mempersiapkan serta melayani warga sebagai orientasi.

Dari komposisi sorotan isu hingga sumber berita, sebagian besar media online justru menyediakan panggung untuk mengungkapkan agenda pemerintah dan mengabaikan kritik terhadap opini publik.

Oleh karena itu, agenda media justru melebihi agenda publik.

Ironisnya, media bahkan jarang memberitakan bagaimana undang-undang yang komprehensif tentang UU Cipta Kerja akan membahayakan kebebasan pers dan karya pers itu sendiri.

Meskipun media sosial dapat memberikan ruang untuk mengekspresikan agenda dan opini publik, pembentukan agenda media masih didominasi oleh kepentingan pemerintah.

Banyak pihak yang berharap media memberikan ruang untuk membahas “UU Cipta Kerja”.

Mereka berharap media dapat melindungi kasus dari tepi, memantau fakta hukum, membingkai dan memberikan ruang diskusi substantif terkait hukum.  Sayangnya, media kita tidak sepenuhnya berperan sebagai yang mencerahkan kita.        

Penulis: Dicki Antariksa Suratman

Previous articleTerkikisnya Identitas Sosial Generasi Milenial Akibat Pengaruh Korean Wave
Next articlePeran Media Sosial di Era Globalisasi terhadap Remaja